Balada Indra : Kita dan Bintang
Oleh : Sri Sundari
“Belum berangkat, A?” ibuku bertanya dari luar kamar. Mengaduk-aduk adonan tepung. Aku tidak menjawab, lalu bangun menghampirinya.
“Libur dulu, Bu. Bikin mendoan?”
Ibuku ngeloyor ke dapur. Aku menyusulnya, paling suka dengan mendoan buatan ibu. Rasanya selalu pas di mulut meskipun beliau bukan orang Jawa. “Sini,
Aa yang goreng!”
“Libur kenapa sih? Sakit?” ibuku menyerakan baskom isi adonan tepung, lalu meraba keningku dengan punggung tangannya.
“Nggak, Aa lagi pengen libur aja. Capek.” Kunyalakan kompor yang di atasnya sudah tersedian wajan berisi minyak.
“Kalau nggak capek namanya bukan kerja, ngaso.”
Ibuku menaruh beberapa irisan tempe ke dalam adonan, aku langsung menggorengnya. Minyak nyerocos ketika bersentuhan dengan tepung basah, mirip suara yang keluar dari mulut Ceu Meti, tetangga sebelah rumah ketika mengomel pada suaminya.
Ibu tidak banyak bicara, tapi aku tahu dia kecewa karena aku tidak berangkat bekerja. Beliau paling tidak suka melihatku malas-malasan, kecuali sakit.
“Aa meneruskan kuliah saja, gimana, Bu?” Perempuan senja yang telah melahirkanku duapuluh satu tahun yang lalu itu menarik nafas panjang. Mengambil setangkai kangkung dan memotesnya dimulai dari bagian paling muda.
“Kenapa? Sudah bosan kerja? Bukannya dulu Bapak juga menyarankan kamu kuliah.” Ibu merebut sutil yang kupegang, mendoan udah waktunya dibalik, tapi aku membiarkannya.
Ibu tidak tahu kegundahan anaknya ini, karena aku pun tidak pernah ingin menceritakannya. Tidak ingin membebani pikiran orang tua dengan urusan asmara. Bagaimana bisa aku melihat sedihnya hati ibuku yang lembut itu kalau tahu anak lelaki gantengnya ini kemarin dimaki-maki orang gara-gara macarin anak gadisnya.
Aku tahu, bapaknya Airin bukan sekedar ingin anaknya bebas dari pacaran demi sekolahnya, tapi dia juga tidak sreg denganku, yang hanya seorang pegawai bengkel lulusan STM. Dia tidak ingin anak kesayangannya hidup terlantar di masa depan. Padahal kalau dia pikir lebih dalam lagi, aku ini orang yang paling tepat menjadi menantu. Aku kan mekanik, mesin kendaraan saja kurawat dengan baik, kalau ngadat kuperbaiki sampai benar, apalagi anaknya, pasti kujaga siang malam jangan sampai lecet.
“Itu juga kalau boleh, soal biaya Aa punya simpanan kok untuk meringankan Ibu dan Bapak.”
“Bukan soal itu, A. Biaya mah bisa dicari, tapi coba aja kamu dulu langsung kuliah mungkin lulusnya lebih cepat. Kalau sekarang baru mau daftar kuliah lulus taun berapa? Terus nyari kerja lagi, kapan menikah dan beri Ibu cucu?”
Ibuku ternyata pinter ngeles. Aku tahu dia sudah tidak mau mikirin biaya lagi, tapi penolakannya dibuat sehalus mungkin biar aku tidak kecewa. Lebih dari dua puluh tahun bro aku hidup di keteknya …
“Ck, Ibu mah pikirannya ke sana aja. Indri tuh suruh buru-buru kasih cucu.”
“Aeeeehh, Indri baru juga masuk pondok. Suka ngabaledogkeun tanggung jawab ya ai si Aa.” Ibuku memadang wajahku heran.
Mendoan sudah matang, kucomot meskipun masih di atas sosorok. Panas, tapi tak sepanas hatiku mengingat perlakuan bapaknya Airin kemarin. Kutiup biar menghangat, sehangat ketek ibuku.
Malamku kembali berteman bintang. Kali ini kupilih belakang rumah, agar bisa lebih mengekspresikan meranaku lebih lebay kepada mereka. Di sebelah bonsai-bonsai yang dirawat bapak.
Lebih sering diganggu nyamuk memang, tapi membuatku nyaman bercumbu dengan kelap-kelipnya.
Tak seperti nyamuk, bintang malam ini tidak terlalu banyak, sudah begitu pandanganku juga terhalang dedaunan pohon rindang. Seperti sedang bermain petak umpet, aku mencari-cari bintang dari celah daun pohon mangga.
Kudengar suara motor memasuki halaman. Siapa lagi kalau bukan motornya Somantri, pemilik knalpot rombeng. Sehari-hari berurusan dengan mesin motor, tapi motor yang dipakai sudah motor yang waktunya jadi milik pengepul.
Tidak lama dia menyusul ke belakang, mungkin diberitahu ibu.
“Pencinta bintang, masih hidup, Lu?” Kubiarkan Somantri meledek. “Gua boleh merokok, gak?” tanyanya lagi. Somantri tahu aku tidak suka asap rokok.
Kuanggukan kepala, sepertinya kali ini kuberi dia sedikit kebebasan mumpung pikiranku lagi tidak karuan. Toleransi sedikit lah untuk perokok, walaupun mereka tidak ada toleransi-toleransinya, buang asap dimana saja.
Somantri menyalakan rokok dan menyesapnya, terlihat sangat nikmat ketika dia membebaskan asap dari mulutnya, seperti membebaskan beban terpendam dalam dada.
Aku hampir saja mengambil sebatang rokok yang Somantri geletakan bersama korek apinya itu, untuk membakar gundah. Ibu datang, membawa kopi sekaligus cemilannya, rempeyek ikan petek. Aku urung menyentuh barang yang penuh kontroversi itu.
“Bikin sendiri, Bu?” Somantri berbasa-basi. Matanya berbinar melihat rempeyek di dalam toples, sudah seperti melihat uang gajian.
“Bukan, Bapak yang beli. Tadi sore baru pulang dari Muara.” Ibu menyebutkan kampung yang sering bapak datangi sebagai petugas pengairan.
“Ooh, enak.” Somantri kembali basa-basi sambil menggigit rempeyek asin itu. Ibuku tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah.
“Ada berita apa di bengkel?” tanyaku.
“Gosip Si Indra yang dilabrak calon mertua,” jawab Somantri, enteng banget bicaranya, tapi menjadi berat dan runcing masuk gendang telingaku. Aku jadi semakin yakin untuk hengkang dari bengkel itu. “Lu tadi kenapa nggak masuk?”
“Gua capek. Gua sepertinya mau keluar kerja.”
“Cemen banget sih, Lu. Baru digertak begitu saja sudah menyerah.”
“Terus gua harus melawan? Dia orang tua.”
“Ya bukan melawan juga kali. Lu keluar kerja itu namanya menyerah.”
“Kagak, gua mau nerusin kuliah.”
Somantri menyeruput kopi, lalu membuka-buka ponselnya.
“Gua gak salah denger? Lu mau daftar ke Nasa, Ndra? Membenamkan diri di luar angkasa, mendekati bintang yang belum tentu indah kalau dari dekat.”
“Enggak, gua ngga selebay itu. Gua pengen jadi sarjana tehknik.”
“Kayak Si Dul anak betawi aja, Lu.” Somantri meledek. “Cita-cita gua juga jadi artis sinetron, nggak sombong.”
“Iya lahh, ketinggian. Apa yang bisa disombongin, ke kejar juga mustahil.”
“Umur segitu emang masih bisa mikir,Ndra?”
“Lu kira gua kagak punya otak sampai gak bisa mikir?”
Somantri tertawa, dimatikan rokoknya dengan cara dikusek-kusek ke piring tatakan gelas kopi.
“Bagus sih, Lu masih semangat mencari ilmu. Tapi jangan sampai keputusan Lu itu merupakan keputusan yang salah karena emosi semata.”
Aku melirik Somantri yang beranjak, sedikit tersinggung juga dengan kata-katanya. “Nih, gua ketitipan ini sama Airin. Tadi dia ke bengkel diantar Inez." Somantri menyerahkan sepucuk surat.
Aku tentu saja senang sekaligus terharu Airin mencariku. Tapi ketika mengingat bapaknya ada sesuatu yang tidak enak di dada.
Ponsel berdering, Indri mengajak video call. Wajah imutnya muncul dibingkai jilbab mengsolnya.
“ Assalamu’alaikum, Aa.”
“Wa alaikumssalam,”
“Indriii ….” Somantri ikut nimbrung dari belakangku, dadah-dadah kayak lagi nganter anak sekolah piknik.
“Eeh, ada Aa Somay juga,” ledek Indri. Somantri tertawa sambil mengacungkan tinju. Indri terkekeh sambil menutup mulut. “ Kok gelap, A? Kalian di mana sih? Indri mau bicara sama Ibu dong.”
“Bentar, kok bisa pegang ponsel? Nanti di razia lho.”
“Aahh, si Aa mah. Ini kan jadwal kita boleh menghubungi keluarga. Ayo, iiiihh… Aaaa, Indri kangen sama Ibuuu,” rengek Indri. Manjanya masih saja dipelihara walaupun sudah bersekolah di pondok.
“Iya, iya jadi kangennya hanya sama Ibu niih? … anak manja. Betulin tuh jilbabnya, Dek!” Indri monyong-monyong sambil membenerkan letak jilbabnya.
Aku masuk untuk menyerahkan ponsel kepada ibu. Lalu ibu dan anak manjanya itu beradu lebay karena lama tidak berjumpa.
“Adik Lu udah gede ya, Ndra. Nggak terasa, perasaan baru kemarin gua ledekin dia pakai baju SD.”
“Iya, sekarang sudah kelas dua SMA, cita-citanya jadi dosen.”
“Wahh, bagus itu. Tanggung jawab, Lu tuh.”
Aku termenung, apa yang dikatakan Somantri ada benarnya juga. Indri itu adikku. Sebagai kakak laki-laki aku yang harus bertanggung jawab dengan masa depannya. Meskipun masih ada bapak, setidaknya uang bapak yang hanya seberapa itu tidak kupakai juga untuk membiayai kuliahku yang belum tentu bener.
Kupandangi lagi langit, yang juga dipandangi Somantri. Kuambil surat dari Airin masih tergeletak di bale-bale.
Aa Indra,
Maaf jika Airin baru mengabari. Airin tahu apa yang bapak lakukan kemarin. Atas nama bapak Airin minta maaf.
HP disita bapak, tapi kita tidak tergantung dengan perangkat dunia. Masih ada jalinan cinta yang akan senantiasa mempertemukan kita. Seperti bintang yang selalu kita temukan pada langit malam. Walaupun kadang menghilang, kita yakin dia datang di malam lain.
Airin
Airin ternyata masih penuh dengan harapan, dia tidak putus asa. Sebagai lelaki aku merasa malu juga, berusaha membenamkan diri pada keadaan tanpa berpikir lebih dewasa.
Bintang masih di posisinya, aku pandangi satu-satu. Ah, Airin … Kamu benar, kita selalu ada seperti bintang walaupun kadang tak terlihat.
Aku melirik Somantri. “Lu bener, gua tidak seharusnya mengambil keputusan hanya karena emosi. Gua jadi kepikiran Indri. Sebaiknya gua bantu bapak untuk menyekolahkannya lebih tinggi. Gua sebenarnya sudah males belajar.”
“Baguslah, Lu udah siuman.” Somantri bicara sambil tetap memandang langit. “Ndra,” lanjutnya setelah kami lama membisu dengan pikiran masing-masing.
“Hmm … “
“Gua rasa gua sekarang jatuh cinta sama bintang.”
“Ah, Lu udah ketularan gua itu. Asyik kan melihat bintang? Nggak perlu jadi angkasawan juga kita bisa melihat mereka, lebih imut malah kalau dari jauh.”
“Bukan bintang yang itu, gua tadi ketemu Bintang, sales perusahaan oli yang selalu kirim barang ke bengkel.”
Somantri itu selalu saja bikin aku geleng-geleng kepala. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Dia adalah sahabat yang selalu ada untukku dalam senang maupun susah.
“Lu nggak balik? Besok kerja, takut kesiangan.”
“Males lah kalau gak ada Lu.”
“Jangan gitu, Lu. Gua udah ngantuk, besok mau nerusin kuli … ah.”
“Ada yang beneran siuman, nihh … ya udah, gua pulang."
Aku tertawa. Somantri meneguk kopinya sampai habis, aku mengantar sahabatku itu sampai depan.
“Salam buat bintang ya, Ndra!”
“Nanti, Kamis depan. Jadwal dia datang,” jawabku. Somantri menggerak-gerakkan alisnya, lebay.
(bersambung)
“Belum berangkat, A?” ibuku bertanya dari luar kamar. Mengaduk-aduk adonan tepung. Aku tidak menjawab, lalu bangun menghampirinya.
“Libur dulu, Bu. Bikin mendoan?”
Ibuku ngeloyor ke dapur. Aku menyusulnya, paling suka dengan mendoan buatan ibu. Rasanya selalu pas di mulut meskipun beliau bukan orang Jawa. “Sini,
Aa yang goreng!”
“Libur kenapa sih? Sakit?” ibuku menyerakan baskom isi adonan tepung, lalu meraba keningku dengan punggung tangannya.
“Nggak, Aa lagi pengen libur aja. Capek.” Kunyalakan kompor yang di atasnya sudah tersedian wajan berisi minyak.
“Kalau nggak capek namanya bukan kerja, ngaso.”
Ibuku menaruh beberapa irisan tempe ke dalam adonan, aku langsung menggorengnya. Minyak nyerocos ketika bersentuhan dengan tepung basah, mirip suara yang keluar dari mulut Ceu Meti, tetangga sebelah rumah ketika mengomel pada suaminya.
Ibu tidak banyak bicara, tapi aku tahu dia kecewa karena aku tidak berangkat bekerja. Beliau paling tidak suka melihatku malas-malasan, kecuali sakit.
“Aa meneruskan kuliah saja, gimana, Bu?” Perempuan senja yang telah melahirkanku duapuluh satu tahun yang lalu itu menarik nafas panjang. Mengambil setangkai kangkung dan memotesnya dimulai dari bagian paling muda.
“Kenapa? Sudah bosan kerja? Bukannya dulu Bapak juga menyarankan kamu kuliah.” Ibu merebut sutil yang kupegang, mendoan udah waktunya dibalik, tapi aku membiarkannya.
Ibu tidak tahu kegundahan anaknya ini, karena aku pun tidak pernah ingin menceritakannya. Tidak ingin membebani pikiran orang tua dengan urusan asmara. Bagaimana bisa aku melihat sedihnya hati ibuku yang lembut itu kalau tahu anak lelaki gantengnya ini kemarin dimaki-maki orang gara-gara macarin anak gadisnya.
Aku tahu, bapaknya Airin bukan sekedar ingin anaknya bebas dari pacaran demi sekolahnya, tapi dia juga tidak sreg denganku, yang hanya seorang pegawai bengkel lulusan STM. Dia tidak ingin anak kesayangannya hidup terlantar di masa depan. Padahal kalau dia pikir lebih dalam lagi, aku ini orang yang paling tepat menjadi menantu. Aku kan mekanik, mesin kendaraan saja kurawat dengan baik, kalau ngadat kuperbaiki sampai benar, apalagi anaknya, pasti kujaga siang malam jangan sampai lecet.
“Itu juga kalau boleh, soal biaya Aa punya simpanan kok untuk meringankan Ibu dan Bapak.”
“Bukan soal itu, A. Biaya mah bisa dicari, tapi coba aja kamu dulu langsung kuliah mungkin lulusnya lebih cepat. Kalau sekarang baru mau daftar kuliah lulus taun berapa? Terus nyari kerja lagi, kapan menikah dan beri Ibu cucu?”
Ibuku ternyata pinter ngeles. Aku tahu dia sudah tidak mau mikirin biaya lagi, tapi penolakannya dibuat sehalus mungkin biar aku tidak kecewa. Lebih dari dua puluh tahun bro aku hidup di keteknya …
“Ck, Ibu mah pikirannya ke sana aja. Indri tuh suruh buru-buru kasih cucu.”
“Aeeeehh, Indri baru juga masuk pondok. Suka ngabaledogkeun tanggung jawab ya ai si Aa.” Ibuku memadang wajahku heran.
Mendoan sudah matang, kucomot meskipun masih di atas sosorok. Panas, tapi tak sepanas hatiku mengingat perlakuan bapaknya Airin kemarin. Kutiup biar menghangat, sehangat ketek ibuku.
Malamku kembali berteman bintang. Kali ini kupilih belakang rumah, agar bisa lebih mengekspresikan meranaku lebih lebay kepada mereka. Di sebelah bonsai-bonsai yang dirawat bapak.
Lebih sering diganggu nyamuk memang, tapi membuatku nyaman bercumbu dengan kelap-kelipnya.
Tak seperti nyamuk, bintang malam ini tidak terlalu banyak, sudah begitu pandanganku juga terhalang dedaunan pohon rindang. Seperti sedang bermain petak umpet, aku mencari-cari bintang dari celah daun pohon mangga.
Kudengar suara motor memasuki halaman. Siapa lagi kalau bukan motornya Somantri, pemilik knalpot rombeng. Sehari-hari berurusan dengan mesin motor, tapi motor yang dipakai sudah motor yang waktunya jadi milik pengepul.
Tidak lama dia menyusul ke belakang, mungkin diberitahu ibu.
“Pencinta bintang, masih hidup, Lu?” Kubiarkan Somantri meledek. “Gua boleh merokok, gak?” tanyanya lagi. Somantri tahu aku tidak suka asap rokok.
Kuanggukan kepala, sepertinya kali ini kuberi dia sedikit kebebasan mumpung pikiranku lagi tidak karuan. Toleransi sedikit lah untuk perokok, walaupun mereka tidak ada toleransi-toleransinya, buang asap dimana saja.
Somantri menyalakan rokok dan menyesapnya, terlihat sangat nikmat ketika dia membebaskan asap dari mulutnya, seperti membebaskan beban terpendam dalam dada.
Aku hampir saja mengambil sebatang rokok yang Somantri geletakan bersama korek apinya itu, untuk membakar gundah. Ibu datang, membawa kopi sekaligus cemilannya, rempeyek ikan petek. Aku urung menyentuh barang yang penuh kontroversi itu.
“Bikin sendiri, Bu?” Somantri berbasa-basi. Matanya berbinar melihat rempeyek di dalam toples, sudah seperti melihat uang gajian.
“Bukan, Bapak yang beli. Tadi sore baru pulang dari Muara.” Ibu menyebutkan kampung yang sering bapak datangi sebagai petugas pengairan.
“Ooh, enak.” Somantri kembali basa-basi sambil menggigit rempeyek asin itu. Ibuku tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah.
“Ada berita apa di bengkel?” tanyaku.
“Gosip Si Indra yang dilabrak calon mertua,” jawab Somantri, enteng banget bicaranya, tapi menjadi berat dan runcing masuk gendang telingaku. Aku jadi semakin yakin untuk hengkang dari bengkel itu. “Lu tadi kenapa nggak masuk?”
“Gua capek. Gua sepertinya mau keluar kerja.”
“Cemen banget sih, Lu. Baru digertak begitu saja sudah menyerah.”
“Terus gua harus melawan? Dia orang tua.”
“Ya bukan melawan juga kali. Lu keluar kerja itu namanya menyerah.”
“Kagak, gua mau nerusin kuliah.”
Somantri menyeruput kopi, lalu membuka-buka ponselnya.
“Gua gak salah denger? Lu mau daftar ke Nasa, Ndra? Membenamkan diri di luar angkasa, mendekati bintang yang belum tentu indah kalau dari dekat.”
“Enggak, gua ngga selebay itu. Gua pengen jadi sarjana tehknik.”
“Kayak Si Dul anak betawi aja, Lu.” Somantri meledek. “Cita-cita gua juga jadi artis sinetron, nggak sombong.”
“Iya lahh, ketinggian. Apa yang bisa disombongin, ke kejar juga mustahil.”
“Umur segitu emang masih bisa mikir,Ndra?”
“Lu kira gua kagak punya otak sampai gak bisa mikir?”
Somantri tertawa, dimatikan rokoknya dengan cara dikusek-kusek ke piring tatakan gelas kopi.
“Bagus sih, Lu masih semangat mencari ilmu. Tapi jangan sampai keputusan Lu itu merupakan keputusan yang salah karena emosi semata.”
Aku melirik Somantri yang beranjak, sedikit tersinggung juga dengan kata-katanya. “Nih, gua ketitipan ini sama Airin. Tadi dia ke bengkel diantar Inez." Somantri menyerahkan sepucuk surat.
Aku tentu saja senang sekaligus terharu Airin mencariku. Tapi ketika mengingat bapaknya ada sesuatu yang tidak enak di dada.
Ponsel berdering, Indri mengajak video call. Wajah imutnya muncul dibingkai jilbab mengsolnya.
“ Assalamu’alaikum, Aa.”
“Wa alaikumssalam,”
“Indriii ….” Somantri ikut nimbrung dari belakangku, dadah-dadah kayak lagi nganter anak sekolah piknik.
“Eeh, ada Aa Somay juga,” ledek Indri. Somantri tertawa sambil mengacungkan tinju. Indri terkekeh sambil menutup mulut. “ Kok gelap, A? Kalian di mana sih? Indri mau bicara sama Ibu dong.”
“Bentar, kok bisa pegang ponsel? Nanti di razia lho.”
“Aahh, si Aa mah. Ini kan jadwal kita boleh menghubungi keluarga. Ayo, iiiihh… Aaaa, Indri kangen sama Ibuuu,” rengek Indri. Manjanya masih saja dipelihara walaupun sudah bersekolah di pondok.
“Iya, iya jadi kangennya hanya sama Ibu niih? … anak manja. Betulin tuh jilbabnya, Dek!” Indri monyong-monyong sambil membenerkan letak jilbabnya.
Aku masuk untuk menyerahkan ponsel kepada ibu. Lalu ibu dan anak manjanya itu beradu lebay karena lama tidak berjumpa.
“Adik Lu udah gede ya, Ndra. Nggak terasa, perasaan baru kemarin gua ledekin dia pakai baju SD.”
“Iya, sekarang sudah kelas dua SMA, cita-citanya jadi dosen.”
“Wahh, bagus itu. Tanggung jawab, Lu tuh.”
Aku termenung, apa yang dikatakan Somantri ada benarnya juga. Indri itu adikku. Sebagai kakak laki-laki aku yang harus bertanggung jawab dengan masa depannya. Meskipun masih ada bapak, setidaknya uang bapak yang hanya seberapa itu tidak kupakai juga untuk membiayai kuliahku yang belum tentu bener.
Kupandangi lagi langit, yang juga dipandangi Somantri. Kuambil surat dari Airin masih tergeletak di bale-bale.
Aa Indra,
Maaf jika Airin baru mengabari. Airin tahu apa yang bapak lakukan kemarin. Atas nama bapak Airin minta maaf.
HP disita bapak, tapi kita tidak tergantung dengan perangkat dunia. Masih ada jalinan cinta yang akan senantiasa mempertemukan kita. Seperti bintang yang selalu kita temukan pada langit malam. Walaupun kadang menghilang, kita yakin dia datang di malam lain.
Airin
Airin ternyata masih penuh dengan harapan, dia tidak putus asa. Sebagai lelaki aku merasa malu juga, berusaha membenamkan diri pada keadaan tanpa berpikir lebih dewasa.
Bintang masih di posisinya, aku pandangi satu-satu. Ah, Airin … Kamu benar, kita selalu ada seperti bintang walaupun kadang tak terlihat.
Aku melirik Somantri. “Lu bener, gua tidak seharusnya mengambil keputusan hanya karena emosi. Gua jadi kepikiran Indri. Sebaiknya gua bantu bapak untuk menyekolahkannya lebih tinggi. Gua sebenarnya sudah males belajar.”
“Baguslah, Lu udah siuman.” Somantri bicara sambil tetap memandang langit. “Ndra,” lanjutnya setelah kami lama membisu dengan pikiran masing-masing.
“Hmm … “
“Gua rasa gua sekarang jatuh cinta sama bintang.”
“Ah, Lu udah ketularan gua itu. Asyik kan melihat bintang? Nggak perlu jadi angkasawan juga kita bisa melihat mereka, lebih imut malah kalau dari jauh.”
“Bukan bintang yang itu, gua tadi ketemu Bintang, sales perusahaan oli yang selalu kirim barang ke bengkel.”
Somantri itu selalu saja bikin aku geleng-geleng kepala. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Dia adalah sahabat yang selalu ada untukku dalam senang maupun susah.
“Lu nggak balik? Besok kerja, takut kesiangan.”
“Males lah kalau gak ada Lu.”
“Jangan gitu, Lu. Gua udah ngantuk, besok mau nerusin kuli … ah.”
“Ada yang beneran siuman, nihh … ya udah, gua pulang."
Aku tertawa. Somantri meneguk kopinya sampai habis, aku mengantar sahabatku itu sampai depan.
“Salam buat bintang ya, Ndra!”
“Nanti, Kamis depan. Jadwal dia datang,” jawabku. Somantri menggerak-gerakkan alisnya, lebay.
(bersambung)
Comments
Post a Comment