Oleh : Sri Sundari
Masih pagi, debu dan asap knalpot sudah mengotori udara. Hujan tidak pernah datang lagi, angin kemarau melingkupi kota yang semakin hari semakin sesak oleh kendaraan.
Bukan mendoakan yang tidak baik, tapi aku rasa tidak salah kalau hari ini aku berharap beberapa dari kendaraan itu mampir ke bengkel tempatku bekerja, Yaah sekedar service, atau ganti oli juga boleh kalau bukan karena mogok atau turun mesin, hehe ... demi pemasukan perusahaan dan bonus yang akan aku terima.
Aku sedang menabung, agar kalau saat aku menikah tidak merepotkan orang tua. Mumpung ada waktu untuk sampai ke saat itu. Airin masih sekolah dan dia ingin merasakan duduk di bangku kuliah juga. Mudah-mudahan aku tidak keburu lapuk ketika menikahinya.
Ah, mengingat Airin aku gelisah lagi. Chat mesraku semalam tidak dibalasnya.
Pas lampu merah aku berhenti. Ada waktu sedikit menyelami lagi gelisah ini, yang semalaman membuatku susah tidur. Mungkinkah Airin menghapus seluruh pesan sebelum membaca semuanya? Atau ponselnya rusak lagi kecebur sayur sop atau mie instan?
Di depan tampak beberapa motor juga berhenti, termasuk motor yang dikendarai dua orang siswa sekolah berseragam SMA. Siswa yang dibonceng duduk menyamping ala emak-emak. Entah apa yang ada dipikirannya, sebagai laki-laki aku sendiri tidak akan melakukan itu. Akan hilang setengah tampilan jantanku di mata orang lain, dan aku tidak mau menciptakan bermacam-macam spekulasi di setiap kepala yang melihat.
Rupanya bukan aku saja, pengendara lain juga melihat ke arah dua siswa itu. Ada yang mencoba merekamnya juga dari dalam mobil.
Lampu hijau menyala, motor kedua siswa itu melaju searah denganku. Mereka melaju cepat di depanku. Setelah beberapa saat kendaraannya melambat lalu berhenti di depan sebuah pos satpam yang masih sepi. Aku curiga dong, melihat mereka seperti kebingungan.
Tiit… tiiitt ....
Kubunyikan klakson, sebagai seorang tekhnisi mesin aku merasa kudu nanya mereka. Mana tahu butuh bantuan.
“Kenapa motornya?”
“Ngga apa-apa, Kang,”
Siswa yang duduk menyamping tadi segera turun. Mengambil sesuatu dari tas temannya, lalu berlari ke pos satpam sambil memegangi belakang celananya.
“Kenapa dia?” tanyaku pada temannya yang cengengesan ke arahku. Aku curiga kebelet dan kebeleteran.
“Celananya sobek parah, sudah kekecilan.”
Aku jadi ingin tertawa, tapi kusembunyikan pada lengan yang kututupkan ke lobang helmku.
Lucu sekali, jadi teringat waktu sekolah dulu. Karena sudah kelas tiga dan sebentar lagi lulus, ibuku tidak membelikanku celana lagi. Bilangnya sayang nanti nggak kepakai lagi karena adikku perempuan. Akhirnya aku sekolah dengan celana satu-satunya itu sampai ketat dan ngatung di atas tumit. Rawan sobek memang, karena sejatinya tubuh itu membesar dan celana menyusut.
“Terus, mau ngapain dia?”
“Ganti pakai celana olah raga saya.”
“Lah, kenapa nggak pulang lagi? kamu nanti olah raga pakai apa?”
“Gampang, tinggal ke kantin, hehe ….”
“Heuuuhh,” Aku menepuk pundaknya. Anak itu kembali cengengesan.
Jam istirahat siang, setelah sholat dan makan, kugunakan waktunya untuk ngaso di ruangan dalam bengkel. Menemani Somanti online sambil ngopi, dia kan sudah kembali jadi jomlo happy. Ngopinya menggila lagi.
Somantri memperlihatkan sebuah video dari halaman kabar viral yang dia ikuti.
“Viral terbaru dari kota ini, Ndra,” katanya. Kubaca captionnya, DUNIA SUDAH TERBALIK, TIDAK MALU BERPERILAKU SEPERTI WANITA
“Lah, ini mereka yang tadi di lampu merah, gua juga melihatnya. Yang ngerekam juga dekat gua. Nggak begitu lah, celananya sobek itu.”
“Ohh, kirain beneran bencong. Gak bener nih yang bikin berita. Tapi Lu beneran, Ndra? Gua lurusin nih di komentar.”
“Ck, bener. Gua kan nanya tadi sama temannya.”
Miris sekali, banyak orang melakukan berbagai cara untuk mendapat respon orang lain. Sampai hal yang belum tentu benar juga disampaikan menurut isi kepalanya sendiri. Padahal aku tahu sendiri, mereka itu tidak seperti yang diberitakan judul video itu.
Terang saja dia duduknya menyamping, kalau ngangkang kan bisa membuat celananya sobek lebih lebar. Bisa dibayangkan kalau dia tidak pakai kolor daleman, dinginnya jok motor akan menyejukan perangkatnya atau angin pagi bebas menerjangnya. Untung saja temannya baik, minjemin celana.
“Bikin ini yuk, Ndra!” Somantri memperlihatkan age challenge yang lagi viral juga.
“Apa-apa diikutin, lihat dulu baik buruknya! Benar apa tidaknya.”
“Halahh, sok bijak Lu. Yang namanya lagi viral pasti seru. Orang-orang kan tidak akan mencoba kalau tidak seru. Eh, gua pengen tahu wajah tua Lu ketika masih saja menunggu Airin.”
“Kok, jadi gua?”
“Kalau gua kan nggak akan menunggu lama untuk menikah, kalau udah ada jodohnya.”
“Nah itu dia, kalau jodohnya nggak dateng-dateng. Sama aja, Mlo.”
“Belum tentu, aku kan tidak terikat pacaran. Bisa aja besok atau lusa ada yang dateng. Lu kan jelas nunggu Airin beres kuliah, terus berkarir dulu, setelah itu kawin deh sama atasannya. Hahahahaa .…”
“Udah ah, kok jadi bawa-bawa Airin. Sana katanya mau ngikutin yang viral!” Aku kesal juga dengan tingkahnya, Somantri tidak tahu kalau aku dari semalam gelisah.
“Fotoin dulu!”
Somantri segera memberikan ponselnya dan menyuruhku memotretnya, berkali-kali mencari foto yang paling ganteng walaupun aku tahu sampai dunia runtuh juga tidak akan pernah ada.
Giliran sudah ada yang pas dia tersenyum puas. Puas telah ngerjain aku.
Kubuka ponsel, tanda ceklis chat semalam dari subuh sudah berwarna biru, tapi Airin tidak membalasnya. Ingin kuhubungi dia, tapi takut mengganggu konsentrasi belajarnya.
“Lihat, Ndra!”
Wajah Somantri penuh keriput terpampang di layar. Dia tertawa sendiri, mentertawakan masa tuanya yang belum tentu ada. Manusia jaman sekarang memang aneh.
“Awas tuh jadi do’a, mau bekerja di sini sampai tua? Tua Lu masih dengan seragam itu. Kalau gua mah ogah, pengen punya bengkel besar sendiri.”
“Justru ini juga semacam do’a, Ndra. Do'a agar kita panjang umur.”
“Seterah, Lu dah.”
“Iya dong, terserah gua. Nyinyir aja Lu kayak nitizen bijak. Jangan terlalu nyinyir dengan zaman, nanti kualat,” semprot Somantri. Giliran aku bilang seterah dia bilangnya bener, aneh.
"Ndra, ada yang cari, tuh!"
Tiba-tiba teman pekerja yang lain memanggilku. Aku lega, bisa menjauh dari follower menyedihkan kayak Somantri.
Aku mencari yang mencariku. Deg, jantungku melonjak ketika kulihat bapaknya Airin ada di dalam bengkel. Berdiri menungguku di depan pintu masuk.
“Saya ada urusan dengan kamu,” katanya ketika kuhampiri. Suaranya sedikit tegas. Maklum saja, dia kepala satpol PP. Aku mengangguk sambil menelan ludah yang terasa pekat, pahit.
Belum tanganku mempersilakan dia duduk di kursi pelanggan dia sudah bicara lagi. “Mulai hari ini jangan ganggu Airin. Mengerti kamu?” tegasnya lagi, suaranya mengencang. Terdengar seperti petir tanpa kilat di telingaku. Langsung jeger. Tenggorokanku seperti padang pasir tandus, kering tidak ada setetespun ludah yang bisa kutelan. “Anak saya harus konsentrasi belajar, sebentar lagi ujian. Kamu tahu agama tidak? Pacaran itu tidak diperbolehkan dalam agama juga.” Terus menurut bapak, memaki orang di depan umum diperbolehkan? Tentu itu kuucapkan dalam hati saja. “Saya peringatkan satu kali lagi, jangan pernah temui anak saya lagi!"
Bapaknya Airin mengucapkan salam, lalu keluar. Aku menjawab salamnya dengan lirih, biar hanya Tuhan yang mendengar.
Kupandangi lelaki paruh baya itu menaiki motornya dan pergi, lalu kuedarkan mata ke sekeliling. Beberapa pasang mata rikuh melihatku.
Aku berharap tidak ada yang merekam kejadian ini, dan memviralkannya karena aku merasa bukan nitizen nyinyir lalu kualat seperti yang dibilang Somantri.
Aku lelaki sederhana, yang hanya punya cinta dan kesetiaan. Dikepalaku viral tentang Airin, sebentar lagi pasti bikin pening.
Masih menulis untuk PenAFriends, cluenya "Viral". Happy reading...
Bacanya asik wkwk
ReplyDeleteKayak di Tasik donk... Wkwkwkk
DeleteCerdas! Ambu emang cerpenis handal!👍
ReplyDeleteNuhun,Papi Badar. Handal jepit apa handal kelom? 😅
Deletekeren Ambu,enak bacanya.aku suka banget.
ReplyDeleteMksih Mas Dal, kalau suka tembak dunk hee
Delete