Balada Indra : Bukan Bayangan

Oleh : Sri Sundari

Brukk!! Kulempar alat-alat ngebengkel ke tumpukan kain lap. Kesal.

     “Kenapa, Lu?” Somantri terkejut. Kopi paginya sedikit bergetar kena imbas lemparanku. Sekalian saja kuseruput sedikit demi meredakan suntuk.

     “Gara-gara chat Lu semalam, Airin ngambek, mutusin gua.”

     “Kok bisa? Chat ngajak ngopi juga.”

     “Bukan ngajak ngopinya, tapi kekasih gelapnya itu.”

     “Ooh, memangnya dia tidak tahu?”
Aku menggeleng.

gratis!! Jangkau ribuan sosial media dan tingkatkan website anda di mesin pencarian ribuan mesin pencarian

     “Aku heran sama kalian, pacaran sudah berbulan-bulan tapi belum tahu kebiasaan satu sama lain. Kalau ketemuan yang diobrolin apa sih? Jangan-jangan kalian juga belum pernah ….” Somantri menghentikan ucapannya, disatukannya jari-jari tangannya sambil  digerak-gerakan meniru ayam saling mematuk.

     “Apaan sih, Lu.” Aku jengah melihatnya, karena aku bukan tipe laki-laki perusak anak orang. Somantri tergelak melihatku menelan dongkol.

     “Diam-diam dia pake aplikasi mengkloning akunku.”

 
 “Ahahahahaaa …. Lu nya aja yang bego. Pasti ponselnya Lu pinjemin, diutak-atik tuh. Anak jaman sekarang pinter-pinter.”

     “Lahh, gua mah nggak pernah merasa selingkuh. Ngapain ngumpetin ponsel.”

     “Terus gimana?”

     “Bagaimana apa? biarin saja. Kalau jodoh juga takkan kemana."

     “Biarin aja, tapi galau.” Somantri tersenyum meledek. “Seterah Lu dah!” lanjutnya.

     “Terserah.”

     “Seterah gua, dong.”

Aku sedang tidak ingin tertawa, aku juga sedang tidak ingin berpikir, pekerjaan masih banyak dan sudah ditungguin pelanggan, si bos sudah ngomel saja.

     Namun tetap saja, wajah Airin terus menempel di kepalaku. Rasanya tidak rela harus kehilangan dia ketika lagi sayang-sayangnya. Kalau soal cantik tentu banyak yang lebih cantik. Airin itu baik, ceria, dan lempeng walau sedikit kekanak-kanakan. Aku sayang sama dia, belum tentu bisa menemukan lagi cewek yang seperti dia.
Sejak keputusannya kemarin yang entah serius atau tidak, aku tidak bisa menghubunginya, sepertinya ponselnya dimatikan. Jadi tidak bisa menjelaskan semuanya. Biarlah kuberi sedikit waktu untuknya untuk menikmati perasaan cemburunya.

     “Aww .…” perih terasa ditanganku, obeng yang dipakai membuka mur pada knalpot terpeleset dan tanganku mengenai kaleng knalpot yang sobek. Mengelupaskan kulit jariku.

     “Jangan melamun!” Somantri menepuk pundakku. “Makan dulu yuk, gua traktir ayam sambel ijo.”

     “Tumben, jual onderdil bekas mana, Lu?”

     “Enak saja, gua malem benerin traktor tetangga."
Itulah keuntungan punya keahlian di bidang permesinan, rejeki kita tidak hanya dari gaji bengkel.

     Siang itu pedasnya sambal ijo yang melumuri paha ayam sedikit membuatku melupakan masalah dengan Airin. Yang kuingin hanya merendam mulut yang kepanasan tidak biasa makan pedas.

     Sore harinya aku tidak menemukan Airin menungguku di gerbang sekolahnya. Dia benar-benar ngambek. Sekalian saja kumatikan ponselku, capek rasanya mencari kekasihku online karena kalau offline takut bapaknya.

     Malam ini bintang hanya ada tiga biji, berjejer sejajar di langit yang mendung tertutup awan. Tidak masalah bagiku, tiga bintang itu sudah mewakili jutaan teman-temannya menemuiku. Mereka seperti menyediakan lahan kosong untukku membayangkan wajah Airin di langit bagian lain.

     Kulihat wajahnya bersanding dengan tiga bintang itu, jilbab sederhananya berkibar tertebak angin. Cantik.
 
     "A … Aa … Aa Indra!” panggilnya.
Tentu saja aku kaget, karena wajah Airin betulan ada di atas wajahku yang tiduran menatap langit berbantal kedua tangan.
Aku masih terkesima, melihat wajahnya yang ternyata bukan hanya bayangan. Nyata berbingkai langit.

     “Airin? Kok bisa ke sini?” Aku buru-buru bangun. Airin menatapku malu, tangannya mempermainkan keresek mini market yang dipegangnya.    “Kenapa ponselnya dimatikan?” tanyaku lagi, dengan nada kubuat mode sayang. Bayangkan sendiri dah nadanya gimana.

     “Poselku rusak, lagi di service, A. Waktu pulang kemarin jatuh ke selokan.” Airin berucap lirih.

     “Ooh begitu? Rin, maafin Aa ya,” ucapku, mode melas. Melupakan siapa sebenarnya yang salah.

     “Aku yang minta maaf A, tidak mendengarkan dulu penjelasan A Indra. A Mantri sudah menjelaskan semuanya sama aku.” Airin menunduk. Ternyata Somantri yang ada dibalik semua ini. “Aku juga minta maaf, tentang akun WhatsApp Aa yang ….”

     “Iya, Rin. Aa senang kamu tidak marah lagi.” potongku. Hatiku sungguh dipenuhi banyak bunga. Perbuatan Airin yang mencoba mengutak-atik akun WhatsApp kuanggap sebagai usahanya mengorek isi hatiku. Airin tersenyum haru. “Ngomong-ngomong, kenapa bisa ke sini? Nanti dicari Bapak.”

     “Aku sama A Mantri. Makanya aku tidak bisa lama, tadi pulang dari mini market ketemu sama dia lagi beli kopi, lalu aku diajak ke sini.”

Mataku mencari Somantri, ternyata sedang nangkring di motornya, terhalangi pohon anak nakal. Semprul, berani sekali boncengin pacar orang.

     “Ya sudah, pulangnya Aa yang antar ya.” Airin mengangguk, aku melihatnya bagai sekuntum bunga mawar yang bergerak tertebak semilir angin. Gemulai indah sekali. Andai boleh ingin kucium juga harumnya.

     Aku mengeluarkan motor mau mengantar bunga mawar … eh, Airin pulang.

     “Jodoh emang takkan kemana, Ndra, pasti ketemu, tapi kalau tidak dijemput jodoh juga tidak bisa datang sendiri,” celetuk Somantri.
Aku nyengir kuda, kadang teman konyolku itu suka benar walau kebanyakan salah juga.

     “A Mantri, Airin pulang dulu. Terima kasih ya.”

     “Iya, Rin.”

     “Lu jangan kemana-mana, tunggu di sini. Aku ada kopi tumbuk enak!” kataku. Somantri mengiyakan, tidak pernah menolak kalau soal kopi, lalu pergi untuk duduk di bangku panjang tempatku merenung.

     Kami menembus malam, merasakan angin yang sedikit hangat membawa awan hujan. Sehangat hatiku yang kembali berbaikan dengan Airin. Kilat kecil sudah mewarnai ujung langit, tiga bintang raib entah kamana, mungkin awan sudah menghalanginya atau males dipandangi Somantri.

     “Tidak ada bintang ya, A.”
Aku yakin Airin di belakangku sedang melihat langit.

     “Tidak ada, kan lagi Aa bonceng.”
Airin tertawa kecil sambil mencubit pinggangku. Terasa sakit, tapi itu bukti bahwa dia benar-benar bukan hanya bayangan.

Cerpen ini sambungan cerpen Putus, dibuat masih untuk PenAFriends, clue hari ini 'jodoh pasti bertemu'. Semoga sesuai, hihii ...
Masih bingung, next apa nggak ya? Hmm... Kayaknya masih, bersambung untuk clue selanjutnya. Mumpung lagi semangat...
Selamat membaca.