Balada Indra : Kita dan Bintang

Oleh : Sri Sundari      “Belum berangkat, A?” ibuku bertanya dari luar kamar. Mengaduk-aduk adonan tepung. Aku tidak menjawab, lalu bangun menghampirinya.      “Libur dulu, Bu. Bikin mendoan?” Ibuku ngeloyor ke dapur. Aku menyusulnya, paling suka dengan mendoan buatan ibu. Rasanya selalu pas di mulut meskipun beliau bukan orang Jawa. “Sini, Aa yang goreng!”      “Libur kenapa sih? Sakit?” ibuku menyerakan baskom isi adonan tepung, lalu meraba keningku dengan punggung tangannya.      “Nggak, Aa lagi pengen libur aja. Capek.” Kunyalakan kompor yang di atasnya sudah tersedian wajan berisi minyak.      “Kalau nggak capek namanya bukan kerja, ngaso.”      Ibuku menaruh beberapa irisan tempe ke dalam adonan, aku langsung menggorengnya. Minyak nyerocos ketika bersentuhan dengan tepung basah, mirip suara yang keluar dari mulut Ceu Meti, tetangga sebelah rumah ketika mengomel pada suaminya.     ...

Balada Indra : Putus

Oleh : Sri Sundari

cerpen Sri sundari
Gambar Pixabay/FreePhotos

     Malam yang cerah, tidak akan kulewatkan begitu saja.
     “Malem-malem nongkrong sendirian, Ndra? ” Pak Ndang satpam komplek sebelah menyapaku, masih saja mengenaliku yang sudah berusaha menyembunyikan wajah di balik kain sarung.
     “Nyari angin, Pak,” jawabku asal-asalan.
     “Perlu teman nggak nih?”
     “Wahh, tidak usah Pak. Sebentar lagi sa
ya masuk kok. Terima kasih,” jawabku lagi. Males banget ditemenin sama bapak-bapak perokok, nanti aku malah jadi perokok pasif dan kena kangker paru-paru. Aku masih ingin hidup lebih lama, mengejar impian dan menikah dengan Airin.
     “Ya sudah, Bapak tinggal ya.”
     “Iya, Pak.”
Pak Ndang pergi dengan rokoknya yang asapnya dia telan sebagian, sebagian lagi dia bagikan melalui angin malam. Aku meneruskan hobbyku, menatap langit yang gelap dari bangku panjang di halaman rumah.
     Dari kecil aku suka langit dan tentangnya. Cita-citaku dulu menjadi astronot, agar aku bisa menembus langit dan tahu ada apa saja di sana. Aku ingin meneliti bintang yang bercahaya sedemikian indahnya di mataku. Menaburi langit malam seperti pecahan berlian. Tapi apa daya, sekolahku hanya sampai SMK dan hanya bisa menjadi montir lumayan ganteng. Pengetahuanku tentang bintang sebatas benda lagit yang menghasilkan cahaya sendiri. Tapi aku percaya dan yakin, bintang adalah ciptaan Allah yang harus ditaddaburi. Itu dikuatkan dengan ayat pada surat Ath-Thaariq dalam Al-Qur’an tentang cahaya terang bintang. Masya Allah, aku semakin mengagungkan kekuasaanNya.
     Aku jadi ingin Airin di sini, menikmati malam berdua dengan hiasan bintang di langit. Tapi itu tidak mungkin, Airin tidak pernah keluar malam. Bapaknya melarang. Tidak apa, itu bagus. Aku juga akan seperti itu jika nanti mempunyai anak perempuan.
     Ponsel menyala, lalu membunyikan notifikasi WhatsApp. Tampak di layar ada pesan dari Somantri, temanku di bengkel.

Lu di mana?

Biasa, nongkrong

Ahelah, pasti menemuin kekasih gelap lagi

Yoi

Sini aja curhatnya ke gua, ada kopi late nih

Ogah

Kuakhiri percakapan melalui WhatsApp dengan Somantri. Malam ini aku hanya ingin sendiri, bersama kekasih dalam gelapku yang cantik, bintang. Kalau Pak Ndang kecanduan rokok, dan Somantri kecanduan kopi, aku selalu ingin melihat bintang. Aku terobsesi.

     Seperti biasa, sore ini aku menjemput Airin sepulang sekolah. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menemuinya.
     Dari jauh sudah kelihatan wajah kekasihku yang manis itu menungguku di gerbang sekolah dengan seragam putih abunya. Dengan percaya diri kuhampiri dia walaupun aku sendiri memakai seragam bengkel.
     “Mau kemana dulu kita?” tanyaku setelah dia duduk di belakangku.
     “Terserah!”
Tidak seperti kemarin, hari ini Airin memasang wajah jutek. Aku sudah siap mendengarkan kekesalannya. Paling karena telat datang, atau karena telat balas whatsapp. Sudah biasa.
     Kuparkir motorku di warung mie ayam langganan kami. Sampai mie ayam pesanan datang Airin masih manyun. Matanya tidak sekalipun melihat wajahku, terus saja memandangi ponselnya. Kalau sudah begitu ingin sekali kukecup bibirnya yang mungil itu, tapi buru-buru kutepis pikiran ngeres itu.
     “Kenapa, sih?” tanyaku lembut, mencoba menyodorkan senyum dengan menelengkan kepalaku ke depan wajahnya. Sebagai laki-laki aku harus mengalah kalau tidak ingin hubungan terus memanas.
Airin masih jutek. Mie ayam belum dimakannya, sedangkan mie punyaku sudah mau habis.
     Kusentuh jari tangannya yang berada di atas meja. Airin bergeming, setelah beberapa saat ditariknya tangannya. Aku menarik nafas panjang, rinduku melihat senyumnya berbalas kerumitan perempuan lagi.
Tiba-tiba dia mengasongkan ponselnya. Aku terkejut, bisa-bisanya percakapanku dengan Somantri semalam ada di sana.
     “Kita putus!” Airin membanting sumpit mie ayam, untung saja bukan mangkoknya. Setelah merebut ponselnya dari tanganku dia berlari pulang. Aku tidak bisa mengejarnya, pemilik warung sudah memandangiku dengan sorot mata curiga. Kami belum bayar mie.
     Aku jadi ilfil sama pembuat aplikasi kloning WhatsApp.


Cerpen ini dibuat untuk meramaikan grup menulis PenAFriends
Cluenya : Kekasih Gelap
Selamat membaca, dan tunggu kelanjutan ceritanya di clue selanjutnga, hehe ...

Comments

  1. Wkwkwkwk... kasihannya...
    Duh.. ada aplikasi kloning WA ya?
    Aku bisa ketahuan ini...wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihii, ada lho Mbak yang pake barcode itu, waspadalah 😄😄😂

      Delete
    2. Zamannya serba dikelonin 😁

      Delete
  2. Ah, jangan2...haha
    Mantap, Ambu!👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan, Papih bukan kisah nyata...wkwkk tapi pengeb juga mencoba aplikasinya hahahahaaa

      Delete
  3. Bukan... Jangan2 siang Airin malam somantri😂😂😂

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Cara unik menghapus file sampah android yg jarang diketahui pengguna.

Ini Yang Sangat Dibutuhkan Oleh Penderita Kanker Payudara